Susah Melihat Orang Lain Senang
Selalu mencari-cari kesalahan orang lain …, itulah mungkin yang mewabah pada masyarakat kita saat ini. Masalah bangsa kita yang komplek ini sepertinya semakin pelik saja ketika orang-orang didalamnya saling menyalahkan. Yang ditawarkan bukan menyelesaikan masalah malah menambah masalah. Begitulah, akhir-akhir ini saya sering mendengar obrolan-obrolan yang demikian ini. Apa sih arti sebuah obrolan?
Kita simak beberapa contoh komentar-komentar sebagai berikut. Ketika ada orang lain mulai berbuat, dikomentari, “Ah…, itu bukan apa-apa, ntar lagi juga gagal!”. Ketika orang berbuat baik, dikomentari, “Itu sih ada pamrihnya, tidak mungkin dia berbuat baik begitu jika tidak ada pamrihnya”. Orang prestasi, dikomentari, “Dia sih orang si ini, prestasi dia sih hanya untuk golongan ini dan golongan itu saja, gak ada baiknya untuk kita”.
Dia menyalahkan korban bencana alam hanya lantaran mereka tidak mampu membantu dan meringankan beban mereka. Tetapi ketika dia mampu melakukannya malah menyalahkan orang lain karena tidak ikut membantu dan tidak sebaik dirinya.
Ketika ada organisasi yang lebih baik dari yang dipimpinnya, dikatakannya bahwa organisasi tersebut adalah milik ini dan itu yang berbeda dengan golongannya dia, sehingga tidak perlu diapresiasi. Yang berbeda dengan dirinya selalu ingin dimatikan, sekalipun yang berbeda itu baik. Ah, susah juga ya!
Parameter penilainnya adalah: siapa mereka, mazhab apa, golongan apa, suku mana, baju dan benderanya apa. Sedangkan profesionalisme, prestasi dan hasil kerja adalah nomor terakhir dalam penilaiannya.
Salahnya Kodok
Sikap argumentum ad hominem, adalah prilaku suka menyalahkan sesuatu karena ia tidak mampu melakukan, prilaku suka mencari-cari kesalahan sesuatu di luar dirinya agar ia memiliki cukup alasan untuk memaafkan dirinya sendiri. Menurut Mohammad Fauzil Adhim dalam bukunya Salahnya Kodok, sikap argumentum ad hominem mulai terbentuk dari peristiwa kecil sehari-hari pada masa anak-anak.
Nah, jika orangtua Yahudi mengajarkan kelicikan kepada anak-anaknya ketika menangis, orangtua Amerika menanamkan nasionalisme melalui acara makan malam keluarga, bangsa Sovyet Rusia memberikan doktrin komunisme melalui kepatuhan tanpa syarat kepada orangtua. Lain lagi orangtua Jepang menanamkan nilai-nilai kesatriaaan, nilai sportivitas yang tinggi pada anak-anak, bila menghadapi anak mereka menangis, mereka akan mengatakan buat apa menangis? Kena batu saja menangis? Setelah itu mereka akan menjelaskan.
Bagaimana dengan orangtua di Indonesia ketika anak-anaknya menangis? Apa yang dilakukan orantua saat menyuapi anaknya makan? Ketika anak menangis karena terjatuh, berbeda dengan orang Jepang, orangtua di Indonesia menyikapinya dengan menyalahkan kodok, “Ouw, salahnya kodok. Kodoknya nakal, ya? Anak ibu nggak salah, dijatuhkan. Huh nakal kamu kodok.”
Kodok masih untung, yang kasihan nasib ayam. Ketika seorang anak terjatuh ketika belajar berjalan, maka orangtua akan melempar ayam sambil berkata, “Uh, ayamnya nakal. Sudah ibu lempar biar kapok.”
Di kota-kota besar, keluarga menengah ke atas, dan berpendidikan tinggi itu, ayam sulit dijumpai di rumah, anak juga sulit membayangkan seekor kodok yang suka mencelakakan dirinya.
Yang kasihan kemudian, senasib dengan ayam kampung adalah pembantu. Kalau sepulang kantor anak mengadukan tangannya yang lecet karena terjatuh, di depan anak orangtua berteriak, “Bi, kenapa Andi jatuh. Diperhatikan dong, Bi. Yang benar kalau menjaga anak-anak.”
Orangtua tidak menanyakan perasaan si kecil – yang seharian ditinggal sendirian bersama pembantu dan mendengarkan ceritanya. Orangtua lebih mendorong untuk mengungkapkan “cemasnya” kepada pembantu di depan anak, saat itu juga. Padahal, anak lecet tangannya mungkin justru karena kreatifitas anak. Misalnya, ia mencoba membuat kapal-kapalan dari potongan kayu di belakang rumah. Padahal, anak justru akan bahagia dan mengembangkan perasaan diterima, diperhatikan dan disayang orangtua jika orangtua setia mendengarkan pengalamannya hari itu, sejak orangtua berangkat sampai tangan anak lecet.
Senang Melihat Orang Lain Susah
Seorang anak bersikap argumentum ad hominem dengan menyalahkan orangtua yang tidak mengikutkan les matematika ketika ia mendapat nilai rendah.
Remaja menyalahkan bapaknya yang tidak membelikan motor ketika bakatnya tidak berkembang. Sedangkan walimurid menyalahkan guru ketika anaknya tidak rangking satu. Orangtua menyalahkan rumah yang tidak selebar istana ketika anaknya tidak kreatif dan bakatnya tidak berkembang.
Yang lebih parah lagi, merasa tidak senang jika orang lain senang. Jika diri tidak berhasil orang lain juga ‘harusnya’ tidak berhasil. Jika diri kita sendiri yang senang, orang lain tidak perlu senang. Jika diri kita susah orang lain juga ‘harus’ susah.
Senang melihat orang lain susah, Susah melihat orang lain senang. Semoga tidak demikian. Tapi seperti puisi yang dibaca kang Dedi Miswar, “Senang melihat orang lain Senang, Susah melihat orang lain Susah”. Jadikan diri kita bagian dari solusi bukan bagian dari masalah. Wallahu’alam. (17/06/08)
Senin, 09 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar